Percakapan malam tadi.

Awalnya, terasa bahagia. Karena terlalu bahagia, aku melewatkan waktu begitu cepat tanpa terasa. Sekarang waktunya sudah habis. Aku harus keluar dan membiarkan orang lain bergantian masuk.

“Semua akan berjalan tetap sama seperti biasa.” Dia meyakinkan.

Aku tidak senaif itu, kawan. Tapi, kehendak Tuhan memang tidak bisa di tawar.

“Taatlah pada Tuhanmu. Kalau tidak, hati kita yang mati malam ini takkan ada bedanya dengan mayat seorang pembunuh. Jadikanlah kematian hati kita layaknya seorang yang melakukan pengorbanan untuk Tuhan atau dalam bahasamu, mati syahid. Mulailah belajar menyangi diri sendiri.”

Sejak kapan dia pandai berbahasa.

Singkat kata, aku menerima ini semua dan berharap omongannya bagai seuntai kalimat dalam Hadits, yang sudah pasti kebenarannya.

Beda

Kenapa kami diciptakan berbeda?

Tak ada yang sama. Bentuk muka, bola mata, jenis rambut, suara dan — yang lebih membuat kami berbeda — kepercayaan. Ya, kepercayaan dalam segala apa yang ada di dalam dunia atau biasa disebut… Agama.

Mengapa ada perbedaan disaat semuanya sama-sama menuju ke arah yang lebih baik? Bahwa sesungguhnya kita hanya harus tahu dan selalu ingat bahwa ada yang telah menciptakan kita serta seisi dunia dan harus selalu bersyukur pada-Nya. Mengapa cara kami bersyukur padaMu harus berbeda? Apakah kami tidak bisa bersyukur padaMu bersama-sama walaupun ketika rasa syukur itu timbul saat Kau menyatukan kami?

Ampuni kami karena telah bertanya hal-hal bodoh seperti itu.

Jadi, pertanyaan itu timbul ketika aku melihat satu jiwa yang pergi dipanggil oleh-Nya yang ternyata mempunyai seorang suami dengan iman yang berbeda dan beberapa anak yang mengikuti kepercayaan sang Ayah. Kita memang harus bisa mempertahankan iman yang sudah ditanamkan sejak kecil dan sebisa mungkin tak boleh ada khianat. Tapi, apakah baik jika berakhir seperti ini? Kepercayaan apa yang anak-anak mereka akan anut nanti? Bagaimana mereka dapat mendoakan kedua orang tuanya kelak ketika sudah tiada? Apakah sang istri dan suami tidak merasakan keresahan saat berhubungan yang terhitung zina walau sudah menikah?

Namun di lain sisi, apakah keduanya salah jika mereka jatuh cinta dengan keadaan mereka masing-masing? Apa salah dengan keinginan mereka untuk tetap memeluk agama yang sudah menjadi penerang jalan mereka sejak lahir? Tidaklah keteguhan hati dan ketenggangan rasa yang mereka miliki cukup untuk hubungan dan rumah tangga yang telah dibina? Apa salah satu dari mereka harus ada yang berkhianat agar diberkahi sepenuhnya?

Sesungguhnya, sesuatu seperti ini tak bisa diatasi dengan kalimat, “Jalani saja, dulu.” meskipun hanya untuk sementara. Tidak bagi sebagian perempuan. Tidak untuk sebagian orang yang akan beranjak dewasa.

Sekali lagi, ampuni kami, ya, Tuhan.

Aku hanyalah seorang remaja yang masih minim pengetahuan tentang agama dan masih abu-abu terhadap hubungan seperti ini. Hanya ingin bertanya sebanyak-banyaknya sampai paling tidak hati ini lega walaupun takkan ada jawabnya.

(S)He gone.

“Tok… tok..”

“Siapa itu yang mengetuk pintu?”

“Aku… Ini aku, suamimu, Ras.”

Malam itu aku terbangun lagi. Sudah berpuluh-puluh kali Mas Reza muncul di dalam bunga tidurku, namun tetap saja aku terbangun kaget dibuatnya. Aku tak pandai mengartikan mimpi, tak juga begitu peduli atas itu. Di meja kecil samping tempat tidurku selalu ku siapkan segelas air putih dan sebuah buku. Karena mimpi ini telah terjadi sekitar berminggu-minggu, jadi aku sudah terbiasa menyiapkan ini untuk membantuku melewati malam yang tersisa. Tapi, malam ini, ketika ku buka pembatas buku yang terselip didalam buku itu terbukalah bab yang berjudul Finale. Ternyata aku hampir selesai membacanya, “Ah, ini sih bakal selesai sebelum pagi datang.” Pikirku.

Setelah sekitar satu jam membaca, benar juga dugaanku. Saat kubaca kalimat terakhir dalam bab itu jam menunjukkan pukul dua pagi. Memang, secara teori, ini sudah pagi. Namun, kalau dilihat dari sisi normal manusia, pastinya mereka semua masih terlelap di kamar masing-masing. Aku hanya memandangi wajah yang menemaniku tidur malam itu, sekitar lima belas menit sampai akhirnya memutuskan untuk beranjak menuju ruang keluarga.

Lagi-lagi seperti apa yang telah kuduga, tak ada acara televisi yang menarik perhatianku. Kumatikan tv, pandanganku mulai mengawang dan pikiranku mulai memutar kembali apa saja yang ‘kulihat’ saat tidur tadi. Ketika pintu dibuka, Mas Reza muncul dengan kemeja putih bersih. Ia perlahan berjalan menuju diriku yang sedang duduk dan bersimpuh didepan ku. Ia mengeluarkan sebuah kotak merah kecil –yang entah darimana—lalu membukanya dan berkata, “Aku… ini aku, suamimu, Ras.”

Untuk pertama kalinya aku jadi memikirkan tentang mimpi-mimpiku yang semuanya sama itu. Raut wajahnya terlihat begitu pilu dimataku walaupun ia tersenyum. Apa maksudnya? Dan kenapa harus… Mas Reza?

“Kamu terbangun lagi, Ras?” terasa sebuah telapak tangan menyentuh bahuku hangat.

“Eh, iya nih, Mas. Kamu kok kebangun juga?” Balasku tenang.

“Nggak tau juga, deh. Nah, kalo kamu kenapa? Kamu sudah sering begini, lho. Kalau aku, kan, baru ini saja…  jangan-jangan kamu sedang banyak pikiran, ya?” tanyanya lembut. Terdengar sangat perhatian.

“Hmm…” aku bergumam sendiri. Bingung harus menjawab apa, aku takut ini akan menyinggung hati suamiku itu.

“Ceritalah kalau memang itu mengganjal pikiranmu, Ras…” ujarnya lagi.

“Aku memimpikan Mas Reza. Seniorku semasa kuliah itu, lho. Mimpi ini terus berulang setiap malam dan… hmm… sudah sekitar tiga minggu terakhir aku memimpikannya…” jelasku.

“dan yang paling membuatku bingung, ia berkata, ‘Aku… ini aku, suamimu, Ras.’ dengan senyuman yang terlihat begitu pilu. Aku bingung, mas…” lanjutku tanpa berani melihat wajahnya.

“Hmm…”kali ini giliran Mas Reksa yang bergumam.

“Tapi, jangan salah paham, lho Mas. Aku dari dulu nggak ada apa-apa sama dia. Aku nggak pernah suka sama dia dan seingatku.. dia juga sudah punya pacar sejak kuliah dan akhirnya bertunangan. Makanya aku ngga ngerti kenapa dia tiba-tiba muncul begini…”

“Ya sudah, lebih baik kamu aku buatkan teh, ya…” jawabnya dingin seraya berjalan menjauh menuju dapur.

“Mas, kamu nggak tersinggung dengan ucapannya dalam mimpiku itu, kan? Aku tadinya gak bermaksud untuk menceritakan ini karena takut menyinggungmu… tapi tadi mas maksa, jadinya…”

“Nggak, kok. Udah, Mas nggak apa-apa.” Potongnya singkat. Aku tahu sekali bahwa ada yang sedang ia pikirkan tapi aku tak lagi menyanggahnya, “Lagipula aku juga butuh teh hangat.” pikirku.

—–

Laras terbangun lagi dari tidurnya. Setelah bercerita mengapa ia bisa terbangun, aku membuatkan teh hangat kesukaannya. Sesaat aku kembali untuk memberikannya teh, kutemukan ia meringkuk diatas sofa dengan mata yang telah basah. Ia menangis, sangat tersedu-sedu.

“Ya ampun, kamu kenapa, Ras? “ ujarku panik dan langsung memeluk tubuhnya tanpa melepas genggaman cangkir teh ditanganku.

“Huuu… Mas… huuu….” Ia terus saja menangis dan memelukku erat-erat.

“Kenapa sayang? Sudah, kamu tenang dulu… ini coba diminum sedikit tehnya.” Aku membantunya menenggakkan cairan cokelat itu kedalam tenggorokannya perlahan.

“Sudah, sekarang ceritakan pelan-pelan… kamu kenapa menangis sampai begitu?” tanyaku selembut mungkin.

“Tadi.. aku melihat sosok Reza di pojok sana itu, Mas… hanya punggungnya, namun aku tahu itu dia… huuu… dan… entah kenapa aku sedih sekali, Mas… rasanya ingin memeluknya. Tapi aku langsung teringat kamu, Mas… huuuu…” ia lanjut menangis lagi, kali ini lebih keras.

“Ya sudah tak apa, sayang… disana nggak ada siapa-siapa, kok…” aku tak berhenti mengelus punggungnya.

“Maafkan aku, mas. Aku tak tahu mengapa aku jadi begini… huuu…” ucapnya yang sesekali masih sesunggukan.

“Iya sayang, ini bukan salahmu… kamu hanya kurang tidur.”

“Nggak, Mas. Ini pasti ada yang salah. Pasti sesuatu terjadi sama Mas Reza… kita harus cari tahu, Mas.” ucapannya mulai stabil dan tak lagi menangis.

“Ya, sudah, besok pagi aku hubungi dia… nanti aku tanya bagaimana kabarnya, ya.”

“Lho, kamu memang tahu nomornya, Mas? Kamu memang kenal sama dia?” jawabnya bingung.

Aku kembali tertegun, “Hmm.. iya, kan dulu kamu pernah kenalin aku sama dia. Sudah, sekarang kamu tenang saja dan tidur ya. Jangan khawatir lagi, semuanya akan baik-baik aja, kok.”

“Ya, sudah. Tapi aku nggak  mau tidur dikamar, aku mau disini aja. Tidur di pahamu…” pintanya.

“Ih, macam anak abege saja, sih, kamu!” aku tertawa kecil.

“Ah, biarin. Aku benar-benar lelah dan butuh istirahat yang banyak! Gak sanggup deh jalan ke kamar.” Jawabnya dengan muka lelah yang dibuat-buat.

Aku tak berhenti membelai rambutnya sampai matanya terpejam. Ku pandangi beberapa saat wajahnya dalam-dalam. Laras, kamu itu istriku… yang paling cantik.

“Mas…” tiba-tiba ia bergumam dalam tidurnya mengagetkanku.

“Apa sayang?”

“Maafkan aku, ya.”

“Iya…” jawabku pelan karena tak begitu memperdulikan apa maksud dari ucapannya. Aku hanya ingin ia beristirahat setelah kacaunya suasana hatinya tadi.

—-

Aku mendengar Mas Reksa menjawab, “Iya…” dengan sangat pelan. Meskipun begitu, aku merasa lega. Malam itu ternyata aku bermimpi lagi. Dengan tokoh utama yang sama yaitu, Mas Reza. Tapi yang berbeda, kali ini aku tak lagi terbangun di sela tidurku karenanya. Ia pun tak lagi membawa kotak merah kecil itu dan berkata, “Sampai berjumpa lagi, Ras.”. Seketika semuanya terlihat putih benderang.

—-

Esok paginya aku dikejutkan oleh Laras yang tak mau membuka matanya. Ia juga tak mau membalas semua ucapanku padanya. Badannya terkulai lemas. Aku hanya bisa diam terpaku, seluruh badanku terasa membatu seketika setelah merasakan tubuh Laras yang begitu dingin.

“Tuhan, aku memang ingin ia beristirahat… hanya sebentar!!!  untuk menghilangkan rasa lelahnya… bukan untuk selamanya!!” aku berteriak-teriak tak karuan.

“Jangan ajak dia pulang kerumahmu dulu, ya, Tuhan… jangan… ia… bahkan belum mengingat siapa diri hamba seutuhnya…” aku makin larut dalam isakkan tangisku.

Dia pergi.

Dia benar-benar pergi.